“Konsep mengakses internet adalah menonton, sekitar 60-65 persen. Itu hanya level SMP atau SMA. Mahasiswa juga begitu, apalagi masyarakat,” ujar Sosiolog dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sugeng Bayu Wahyono saat berkunjung ke Kabupaten Pacitan, Jawa Timur (Jatim), Rabu (27/4/2011).
Dari penelitian kecil yang dilakukan Sugeng, budaya semacam itu juga menjangkiti kalangan birokrat. Akses informasi dan internet hanya digunakan sebagai hiburan, misalnya menjelajah jejaring sosial semacam Facebook, Twitter atau YouTube dan bermain game. Dampaknya, produktivitas kerja menurun.
Karena itu, menurutnya, diperlukan kesadaran bersama untuk merubah budaya tersebut guna menghindari munculnya cultural shock akibat memandang IT hanya dalam masalah teknologi semata. Jika tidak segera dibenahi, bagi negara, masih rendahnya budaya baca berpotensi menimbulkan masalah dikemudian hari.
Sugeng mengungkapkan, permasalahan pemanfaatan IT yang masih sebatas konsumtif harus segera ditangani. Terlebih saat ini kemunculan teknologi menjadi bagian dari ekspansi kapitalisme global dalam mencari wilayah sasaran pasar baru. Paling tidak, dampak cultural shock yang kini telah dirasakan adalah generasi copy paste, yakni mereka yang hanya menyalin tulisan di internet untuk kepentingan studi dan lainnya.
“Ini yang harus diwaspadai kalau menyangkut persoalan politik. Dan negara harus kritis terhadap persoalan ini. Masyarakat harus dipersiapkan dengan transformasi cultural. Dari budaya menonton dan tutur menjadi budaya membaca dan tulis,” katanya.
Terkait kondisi media massa, dosen pasca sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta ini berpendapat masih menjadi instrumen atau alat bagi pemilik modal. Berbeda di era sebelumnya, media menjadi alat propaganda penguasa. Dan ditengah liberalisasi media, tayangan sensasional lebih ditujukan untuk akumulasi modal. Hanya saja, anggapan stereotipe itu tidak bisa diberikan ke semua media.
Sebab, jelasnya, ada media yang mengedepankan presisi berita. “Terutama media elektronik. Saya lihat lebih cenderung pada jurnalisme sensasional. Tetapi itu bisa dipahami karena sebagai konsekuensi logis dari struktur politik yang berubah, dari otoriter ke demokratis. Dan itu dimanfaatkan oleh media,” katanya.
Meski demikian, ia tidak terlalu mempercayai teori rezim transmisi, yang teorinya menganggap komunikasi lewat media hanya menyampaikan pesan, dan masyarakat menerima begitu saja. Melalui literasi media yang baik, masyarakat akan lebih cerdas. Demikian pula dengan medianya. Pada perkembangannya, mereka yang hanya mementingkan rating dan program acaranya tidak memberi informasi bermutu, akan ditinggalkan. (jbc15/jbc2)